Tuesday, October 14, 2008

Tapi, ... Tipu !


Jaman dahulu kala, bahkan ketika angka tahun masih ribuan tahun lamanya sebelum Masehi, berdasarkan catatan dalam kitab suci agama-agama Abrahamic, tersebutlah kisah tentang seorang perempuan, istri dari seorang pejabat di kerajaan Mesir, yang memfitnah seorang lelaki gagah nan ganteng yang menolak untuk menghampirinya (bahasa halus untuk tidur bersama / melakukan hubungan badan). Perempuan yang katanya memiliki kecantikan jasmaniah itu ternyata tidak terima “suguhan gula-gulanya” diemohi oleh this hunk, formerly known as her husband’s slave. Merasa terhina dengan penolakan tersebut, dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, dia melakukan pembalasan nan keji, dengan melaporkan kepada suaminya apa yang menurut dia telah dicoba dilakukan oleh si lelaki: pemerkosaan. Tak perlulah kusebutkan nama sesiapapun di sini, Anda pasti bisa dengan mudah menebak orangnya.

Mari kita fast forward ke sekian millennium kemudian.
What was supposed to be one of the oldest trick in the book(s) – in this case, the books referred to are Torah, Bible and Koran – yaitu pernyataan / kesaksian palsu (alias fitnah) ternyata masih lazim dipraktekkan dalam kehidupan nyata untuk merusak reputasi dan menjatuhkan seseorang, meskipun bisa jadi dengan maksud dan alasan yang berbeda jauh dari contoh di atas. Terkadang, pernyataan palsu ini menimbulkan akibat yang begitu mengerikan, seperti pembantaian massal di Rosewood dan penyerangan pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat atas Irak.

Apabila kemudian kita mencoba membahas dampak negatif perbuatan hina ini dari sudut pandang ketidaknyataan, alias fiktif, salah satu contoh yang harus disebutkan adalah To Kill a Mockingbird, ketika desakan mayoritas penduduk Maycomb, Alabama, membuat seorang lelaki Afro-Amerika yang dituduh memperkosa seorang gadis kulit putih terpaksa menemui ajal.

Dalam tataran fiktif terkait konteks geografis Indonesia, ada kisah tentang Titian Serambut Dibelah Tujuh, sebuah film klasik dari tahun 1959 karya sutradara Asrul Sani yang di-remake oleh Chaerul Umam di tahun 1982.
Dikisahkan, seorang guru muda yang berupaya mengubah cara berpikir dan sistem pendidikan yang masih kolot (i.e. sangat menekankan aspek agamis) di sebuah desa yang sangat kuat akar keagamaannya, mendapat tentangan sangat kuat dari kalangan yang lebih mapan dan diuntungkan oleh kondisi status quo desa tersebut, salah satunya adalah istri dari si guru tua. Berbagai cara dilakukan untuk menyingkirkan si guru muda, termasuk dengan intrik-intrik keji, yaitu memfitnah si guru muda melakukan perundungan seksual terhadap seorang perempuan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah si guru muda mencoba memberikan bantuan nafas buatan (CPR) setelah menyelamatkan si perempuan yang nyaris tenggelam. Alhasil, penduduk desa ramai-ramai memusuhi si guru muda dan memintanya angkat kaki dari desa mereka tersebut.

Kita coba fast forward lagi ke sekian dekade kemudian.
Dalam sinetron Cinta Maia yang saat artikel ini ditulis masih ditayangkan di jam prime time salah satu stasiun televisi swasta nasional, dikisahkan seorang perempuan culas yang rela melakukan apa saja agar bisa merebut hati seorang lelaki muda, kaya-raya dan naïf (cliché!), berpura-pura tenggelam agar diselamatkan oleh si lelaki muda, kaya-raya, naïf, DAN pemberani serta jago renang.
Dikarenakan suatu kebetulan yang sangat amat kebetulan sekali, si gadis cantik, baik hati, jujur, pemaaf dan tertindas serta menderita (another cliché, which obviously translated as the protagonist-main role-titular character) yang menaruh hati pada si lelaki, menyaksikan kejadian penyelamatan itu. Dan sesuai harapan si perempuan culas (dan produser, sutradara serta penulis scenario), si gadis cantik lantas mempersepsikan apa yang dilihatnya persis seperti yang dirancang-harapkan oleh sih perempuan culas. Si gadis cantik yang predikatnya harus ditambah dengan ‘bodoh’ itu kemudian menganggap bahwa lelaki muda pujaan hatinya itu bermain air (karena jelas-jelas nyemplung ke kolam renang) dengan perempuan lain. Itu artinya, tipu-tipu si perempuan culas, berhasil gemilang !

Ternyata, ribuan tahun setelah bangsa Israel melepaskan diri dari penjajahan Firaun di tanah Mesir, tipu-muslihat dan fitnah dengan bumbu seks, masih saja menjadi trik yang manjur bin mustajab diterapkan untuk merusak reputasi seseorang (atau subjek plural lain).

Manusia memang paling susah belajar dari pengalaman (dan sejarah).




Bagi para pembaca kritis yang benar-benar mengenal sosok penulis, pasti akan bertanya-tanya, apa yang tidak sedang kulakukan sehingga bisa-bisanya malah membuang waktu dengan menonton sinetron ga penting.

No comments: