Thursday, September 25, 2008

Tiga Seribu


Ini bukanlah cerita tentang barang murahan produksi Republik Rakyat Cina yang dijual dengan harga yang luar biasa sangat amat murah, jenis barang-barang yang biasa digelar oleh para pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional, atau diasongkan di lampu-lampu merah, di dalam bis-bis kota maupun terminal-terminal.

Ini adalah pengalaman sejatiku (nadanya lebay!) yang terjadi persis kemarin, Rabu, 24 September 2008. Berikut ini adalah penuturan langsung dariku, tentang serangkaian kebetulan yang tampaknya terlalu kebetulan sehingga rasanya jadi kurang wajar. Rangkaian kejadian yang pada awalnya terlihat tidak memiliki interkoneksitas, tapi setelah ditelaah lebih mendalam lagi, ternyata semuanya terkait dengan bilangan ’TIGA’.

Siang hari sekitar pukul duabelasTIGApuluh, sehabis makan siang dengan Presiden Direktur dan Kepala Divisi kantorku.
Saat itu, Sang Presiden Direktur sedang meledak, meluapkan segala emosinya yang sudah terlalu lama ditahan selama ini. Kami berdiri berTIGA di lapangan parkir sebuah rumah makan di kawasan Casablanca, di bawah panasnya terik matahari yang menyengat.
Meskipun sebenarnya aku dan si Kepala Divisi bukanlah objek yang dimarahi, karena Sang Presiden Direktur sedang menumpahkan kekesalannya tentang kondisi politik kantor, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman karena orang-orang yang melintas di jalan raya Casablanca dan melihat bahasa tubuh kami bertiga, tentu akan menduga aku dan si Kepala Divisi itulah yang sedang dimarahi habis-habisan.
Padahal, sebenarnya tidak.
Cuma memang kejadian ini lumayan bikin stress dan pusing, secara kami jadinya berdiri lama di bawah siraman terik cahaya mentari Jakarta yang menyengat. Saat itu aku yakin kalau suhu kota ini sedang berada di angka TIGApuluhan derajat Celcius.
Lalu kulihat seorang pengendara sepeda motor yang hendak mengeluarkan motornya dari parkiran, tanpa sengaja ketika merogoh saku celana panjangnya, menjatuhkan beberapa lembar uang seribuan yang terlipat rapi. Awalnya hendak kupanggil si mas pengendara motor, memberitahunya kalau dia baru saja menjatuhkan uang. Tapi melirik ekspresi wajah Sang Presiden Direktur, kuurungkan niatku. Sebaiknya jangan cari gara-gara dengan seseorang yang sedang marah-marah murka besar, apalagi kalau orang tersebut adalah orang yang menggajimu. Haha!
Beberapa menit kemudian dan kami bertiga masih belum lagi beranjak dari tempat tersebut. Kulihat TIGA orang anak kecil yang tadi sempat menawarkan jasanya menyemir sepatu pada kami bertiga ketika sedang santap siang, berkumpul di dekat jatuhnya uang itu. Pikiranku segera teralih, mengamati mereka bertiga, menduga-duga siapa yang akan pertama kali melihat uang tersebut dan mengambilnya. Tapi anehnya, sampai bosku Sang Presiden Direktur mengakhiri sesi emosionalnya dan kami berpisah dan menuju kendaraan masing-masing, tak ada satupun dari ketiga anak itu yang mengambil jatuhan uang tadi. Aku bingung, rasanya tidak mungkin uang itu hanya fantasiku saja.

Sore hari menjelang berbuka puasa. TIGA orang personil Media Relations kantor bersiap-siap beranjak. Ada janji buka puasa bersama TRI-partit: kantorku, kantor klien, dan stasiun televisi yang menyiarkan program klien kantorku. Aku diajak ikut serta dan meramaikan acara, secara makan-makan gratis, tapi entah mengapa rasanya malas lantas kutolak ajakan tersebut. Kebetulan teringat, ada TIGA jenis cake di dalam lemari pendingin kantor yang dikirimkan pihak supplier yang menunggu untuk disantap. Haha!

Ternyata hujan turun dengan derasnya tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Siyal! Aku terperangkap di kantor. Bengong ga tau mau ngapain. Akhirnya sambil tiduran di sofa kucoba membaca The Great Gatsby yang sudah TIGA minggu lalu kubeli dari Kinokuniya. Edisi Wordsworth, harganya TIGApuluhsaturibu rupiah.
Belakangan ini mood membacaku sedang hancur-hancurnya, berada di titik terendah. Bayangkan saja, novel setipis ini sudah tiga minggu berlalu sejak kubaca kata pertamanya, tapi aku baru sampai di halaman TIGAbelas. Mungkin pengaruh cuaca juga, mood membaca tidak muncul-muncul juga, lantas aku mencoba tidur.

Kurang-lebih TIGA jam kemudian, hujan sedikit mereda menjadi gerimis. Teman-teman personil Media Relations baru saja tiba kembali di kantor. Tak lama berselang, TIGA orang personil divisi event juga tiba. Senangnya, suasana kembali riuh dan ceria. Lalu kulihat di salah satu kaki meja, ada uang seribuan yang terlipat rapi tergeletak. Pasti ada seseorang yang tanpa sengaja menjatuhkannya. Berbeda dengan tadi siang, kali ini seorang teman kantorku melihat lantas memungutnya, dan kemudian berteriak mengumumkan, bertanya siapa yang merasa kehilangan uang seribuan yang jumlahnya mencapai sepuluh ribu rupiah. Anehnya, tidak ada satupun yang mengaku merasa kehilangan. Akhirnya, uang ribuan tersebut diputuskan untuk dimasukkan ke dalam celengan plastik murahan yang kami namai celengan dugem, sebuah celengan yang dikonsepkan sebagai dana bersama yang nantinya setelah terisi penuh akan kami manfaatkan untuk acara bergaul malam hari. Biasanya sih penggunaannya kalau tidak untuk karaoke bareng, ya minum-minum alkohol lah sedikit.

Jam dinding memperlihatkan waktu baru saja lewat pukul sembilanTIGApuluh malam. Hujan sudah reda, saatnya untuk pulang ke kos. Berjalan kaki lah, seperti biasa.
Tapi sebelumnya aku mau mengantarkan seorang teman perempuan dulu dan menemaninya di pinggir jalan, menantikan taksi untuk mengantar dia pulang. Biasanya malam-malam sehabis hujan deras, ditambah suasananya menjelang libur Lebaran, sudah tradisinya susah memesan taksi Blue Bird lewat telepon. Harus menunggu di pinggir jalan, karena biasanya lebih cepat dan lebih mudah. Apalagi jam segini belum terlalu larut, pasti masih banyak taksi berseliweran.
Betul sih, masih banyak taksi yang lewat di depan kami, tapi semuanya penuh, lagi narik. Untung kami berdua tidak perlu menanti terlalu lama. Setelah teman ini mendapatkan taksi, aku pun beranjak dari tempat tersebut.

Kakiku melangkah, menyeberangi jalan raya yang ramai.
Kondisi jarak antara kos dan kantor yang tidak terlalu jauh, dan kondisi lalu-lintas yang terlalu ramai, membuat pilihan moda transportasi bagiku untuk dari dan ke kantor sangat terbatas. Hanya ada satu opsi: kedua kakiku.
Untung saja sejak adanya jalur busway di jalan raya ini, membuat proses menyeberang jalan jadi sedikit lebih mudah. Lebar jalan yang dipadati kendaran jadi berkurang, karena ada dua ruas jalan yang diblok untuk armada ”mobilnya Sutiyoso” ini. Di tengah-tengah jalan yang diblok untuk busway ini, kondisinya hampir selalu sepi, terlebih lagi malam-malam seperti sekarang. Jadi memudahkan bagi pejalan kaki untuk melintas, meskipun tetap ada bahaya dari kendaraan yang tiba-tiba mencuri masuk lewat jalur busway dan kemudian melintas dan ngebut kencang.
Ketika sedang melangkah menyusuri jalur busway itulah, mataku kembali melihat lembaran uang seribuan. Tergeletak pasrah dan basah oleh siraman air hujan, pasti tanpa sengaja dijatuhkan oleh seseorang yang melintas hari ini, demikian pikirku saat itu.

Lalu kemudian muncullah pemikiran iseng yang mengingatkanku, ini adalah kejadian keTIGA hari ini, di mana aku melihat uang seribuan yang tergeletak begitu saja tanpa ada yang mengakui mengklaim sebagai miliknya.
Tapi aku tetap urung memungutnya. Masih teringat petuah orangtua saat aku masih kecil dulu. ”Kalau menemukan uang terjatuh dan kamu mengambilnya, segeralah dibelanjakan,” demikian kata ibuku. ”Kalau tidak, dan kamu memilih untuk menyimpannya, suatu saat kamu akan kehilangan sepuluh kali lipat daripada jumlah uang yang kamu temukan.”
Dulu aku menganggapnya sebagai sebuah takhyul tolol – sejak kecil pikiranku sudah menjurus kepada kekurangajaran, memang – sampai suatu ketika aku menemukan selembar duit limaratusperak dan menyimpannya untuk dibelanjakan kemudian, kalau sudah dapat ide mau dipakai untuk membeli apa. Masa itu, komik Donal Bebek masih berharga seribulimaratus rupiah. Kebayang dong jadinya, saat itu duit gopek masih lumayan berharga.
Seperti yang bisa ditebak, aku lupa tentang petuah itu dan peristiwa penemuan duit tersebut, sampai suatu hari beberapa tahun kemudian, aku kehilangan uang persis sejumlah limaribu perak, uang jajanku selama seminggu. Dan petuah yang dulu kuremehkan tiba-tiba saja terlintas di kepala. Barangkali memang kedua kejadian tersebut tidak ada hubungannya, hanyalah kebetulan yang dibumbui takhayul belaka, tapi tetap saja ada semacam beban pikiran menggelayuti alam bawah sadarku sejak saat itu hingga kini.
Itulah barangkali yang menjadi satu sebab utama mengapa aku membiarkan uang-uang itu begitu saja di tempat aku melihatnya. Biar saja orang lain yang mengambil dan memanfaatkannya, batinku.

Setibanya di kos, kulihat tumpukan mug sendok dan mangkuk bekas sarapan tadi pagi yang belum kucuci masih tergeletak di meja. Setengah malas setengah terpaksa, kuberanjak menuju keran dan mencuci semuanya. Untung saja tidak sampai disemutin, atau malah mengundang reptil (cecak) dan serangga lainnya (kecoa) untuk merubung bekas-bekas sarapan tersebut. Meskipun kutahu pasti, I will never know for sure. Siapalah yang tahu apa yang terjadi tadi siang saat tak ada seorang pun di dalam kamar. Haha!
Saat mug melaminku kubasuh, tanpa sengaja mug tersebut tergelincir dan terlepas dari genggaman, lantas jatuh terbanting. Pecah. Damn!
Tiba-tiba kuteringat, siyal! Ini adalah mug melamin keTIGA yang kupecahkan tahun ini. Dua mug sebelumnya pecah tak sengaja karena kejadian yang nyaris sama, terlepas dari tanganku saat sedang dicuci. Rugi pisan, euy.
Dengan gelondongan kesebalan kuselesaikan mencuci alat-alat makan lainnya dan kukeringkan, lalu kulihat pisang Cavendish yang kubeli hari Minggu kemarin masih ada. Kubuka plastik penyimpanannya, dan kuputuskan untuk menyudahi riwayatnya segera. Dari aromanya tercium kalau dibiarkan lebih lama lagi, let’s say sekitar dua hari lagi, pisang-pisang ini akan segera membusuk. Segera kusantap semua sampai habis.
Saat tanganku membuka kulit pisang terakhir, baru pikiranku tersadar, ini adalah buah pisang keTIGA !

Pasti ada kebetulan-kebetulan yang aneh dengan hari tersebut. Serangkaian peristiwa kebetulan yang agak sukar dijelaskan, meskipun sebetulnya tidak ada sesuatu hal mendesak yang membuatnya harus bisa dijelaskan.
Tapi tetap saja karena belakangan ini pikiranku sedang tidak disibukkan oleh urusan pekerjaan, hal-hal (yang tampaknya) remeh semacam ini justru lebih asyik untuk ditelaah lebih dalam dan direka-reka penjelasan logisnya. Bahkan sampai kurasa perlu untuk dituangkan ke dalam tulisan, dan dengan demikian terciptalah tulisan ini.

Namun sungguh, sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, mengapa dan bagaimana bisa ya, sampai semua kejadian tersebut terkait dengan bilangan TIGA.
Padahal tanggal hari itu kan 24, bukan 23?!



No comments: