Wednesday, March 26, 2008

Birches, Willows, Sycamores and Rhododendron Shrubs



If many other fellow readers were fascinated with the mysteries comprised in tens of Agatha Christie’s novels – like who killed Roger Ackroyd, who committed homicide inside the snow-blocked Orient Express, or who killed the wealthy lady aboard a luxurious cruiser down the Nile – I was in to them for other reasons.

I still remember the first murder mystery novel written by Agatha Christie that I finished reading. It was Cat Among the Pigeons, which I borrowed from Sylvia. Actually it belongs to her older sister, and Sylvia lent me it without her sister’s knowing as a simple reward after I helped her with her history essay on Middle East’s ancient cultures (those of Assyrians and Mesopotamians).

Saat itu sebenarnya kami baru saja duduk di grade 7. Usiaku sendiri masih dalam minggu-minggu pertama menginjak 12 tahun – and I remember vaguely that I had just experienced my first wet dream (ha! ha! such an irrelevant confession) – tapi aku sudah mulai mencari-cari bacaan yang lebih seru, lebih mendebarkan dan lebih memacu adrenalin daripada serial petualangan Famous Five maupun Secret Seven-nya Enid Blyton yang kurasa sudah tidak cocok lagi dengan seleraku.
Apalagi jika menyebut serial yang ber-setting-kan sekolah asrama khusus putri seperti St. Clare dan Malory Towers, yang pastinya sudah dibiarkan tidak tersentuh lagi.
Rasanya sedikit malu untuk mengakui bahwa dulu, hanya beberapa tahun sebelumnya, aku bisa sangat menikmati cerita-cerita tentang kejenakaan dan kenakalan cewek-cewek Inggris yang mengerjai guru bahasa Prancis mereka dengan penuh niat (ditambah lagi kebingungan melafalkan istilah ‘Mademoiselle’ dan ‘Paris’ dengan bunyi r-r-r khas yang mengandalkan posisi lidah harus menempel di atas langit-langit mulut, huh!), serunya midnights’ pajamas parties di salah satu ruang kumpul bersama di salah satu menara, dan lomba lacrosse antarsekolah yang dideskripsikan begitu serunya tapi sebenarnya highly predictable karena sudah pasti kompetisi itu akan dimenangkan oleh tim dari sekolah si tokoh utama.
Pfuih! I need something more mature than these materials.

Pikiranku kembali melayang ke masa ketika aku masih berusia sedikit lebih muda daripada waktu itu, barangkali saat itu aku baru saja naik kelas ke grade 6 dan sedang dalam masa liburan kenaikan kelas. Karena didera kebosanan, lantas aku berusaha mencari kesibukan sendiri. Entah bagaimana awalnya, yang jelas saat itu kutemukan diriku sendiri sedang berdiri di dalam salah satu kamar yang dihuni oleh kakakku yang tertua, dan sedang mengintip ke dalam rak buku besar yang berada di salah satu sisi kamar itu. Rak buku itu penuh berisikan koleksi novel-novel untuk pembaca dewasa. Pandanganku saat itu lantas terfokus pada deretan novel bersampul hitam dengan nama pengarang Agatha Christie, yang terlihat berderet dalam jumlah relatif banyak dibandingkan dengan buku-buku lainnya. Hmmm... kira-kira novel tentang apa ya?, pikirku.
Jadilah kucomot satu buku secara acak. Desain cover-nya memperlihatkan sebuah boneka berwujud anak kecil berkulit hitam berambut keriting berbaju merah bercelana panjang hijau yang tampaknya seperti tergantung. Lantas kubaca judulnya, Sepuluh Anak Negro. Judul yang tidak biasa, pikirku saat itu.
Kulanjutkan dengan membaca synopsis di cover belakang. Ooh, yang ini berkisah tentang sepuluh orang yang terjebak di sebuah pulau terpencil tanpa akses komunikasi keluar pulau serta – nah, ini yang membuatku jadi sangat tertarik – tidak memiliki tempat untuk melarikan diri dari petaka kematian yang secara misterius menghampiri mereka satu demi satu.

Eh, tunggu dulu! Ini kan mirip cerita di satu film India jaman dulu, barangkali diproduksi di masa ketika Amitabh Bachchan masih brondong (ha! ha!), yang pernah aku tonton dari channel RTM2?
Film yang aku tak tahu judulnya ini bertutur tentang sekitar 10 orang yang menang undian berhadiah paket wisata. Namun dalam perjalanan, entah karena satu alasan apa yang kurang jelas buatku, pesawat terbang yang mereka naiki terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah pulau. Dan ternyata saat mereka semua turun dari pesawat untuk melihat-lihat kondisi pulau tersebut, pesawat itu langsung lepas landas lagi! Perlahan mereka mulai menyadari bahwa ini semua adalah jebakan mengerikan, perangkap maut yang telah dipersiapkan dengan penuh perencanaan matang a la iblis untuk menghabisi mereka satu demi satu.
Ada beberapa hal yang masih kuingat dari film tersebut hingga kini, antara lain an unforgettable scene dimana sepasang muda-mudi berjoget sambil menyanyi di tengah siraman hujan deras (ah, Bollywood cliché!) di malam hari di antara deretan batu nisan di sebuah pekuburan tua yang sudah tidak terawat (wow! ini baru setting yang tidak biasa!), lalu ketika si perempuan menari sambil berputar-putar 360 derajat tanpa henti (and by doing so, beating Midori Ito and Tonya Harding decades before they were able to perform triple axel jumps in late ‘80s and early ‘90s respectively), tubuhnya menabrak salah satu teman seperjalanan mereka yang sedang dalam posisi terduduk kaku di antara deretan nisan di tengah pekuburan tersebut. Kaku bak arca karena sudah menjadi mayat. Si perempuan yang tadinya in a mental state of happy-happy joy-joy joget-joget bersama sang kekasih pujaan hati langsung menjerit ngeri (shrieking: "Nahiiin!").
Hingga kini aku masih penasaran dengan kelanjutan cerita film ini, karena saat menonton film itu waktu sudah hampir jam 10 malam, yang artinya sudah tiba saatku sebagai seorang bocah cilik berusia 9 tahun untuk tidur karena besoknya harus sekolah. Betul sekali, orang-tuaku cukup disiplin untuk hal satu ini. Huh, menjadi anak kecil itu memang lebih banyak tidak enaknya ya.*

Mari kita kembali ke diriku yang masih saja berdiri di depan rak buku di kamar kakakku. Jadilah Sepuluh Anak Negro yang sudah dalam genggaman tangan kuselipkan di balik baju seperti gaya anak sekolah menengah teknik yang pernah kulihat di pinggir jalan, lantas aku mengendap-endap keluar kamar.
Deg-degan.
Kakak-kakakku pasti akan marah dan langsung mengadu pada Ibu kalau mereka sampai tahu aku hendak mencuri baca novel dewasa mereka.

Sesampainya di dalam kamarku, hatiku bergembira.
Victory!
Kini novel itu sudah berada dalam genggaman kekuasaanku.
Persoalan berikutnya?
Bagaimana caranya agar aku bisa mulai membaca buku ini tanpa menimbulkan keramaian, alias ketahuan oleh kakak-kakakku.
Well, the only open option was to arrange some ‘mutual understandings’ with my brother Matthew, since we shared bedroom together. Aku sudah lupa apa isi kesepakatan kami yang berhasil dicapai saat itu, namun yang jelas, aku bisa mulai membaca Sepuluh Anak Negro malam itu tanpa harus bersembunyi di dalam tenda selimut dengan bantuan penerangan senter.

Misteri pertama yang kujumpai saat itu adalah, apa itu red herring? Kira-kira seperti apa ya bentuk ikan herring merah itu? Imajinasi yang kemudian terbentuk di dalam benakku saat itu adalah red herring fish merupakan sejenis ikan berukuran sedang yang lazim ditemukan di dalam kaleng sarden ABC, karena biasanya saat aku membelah tubuh ikan itu, akan terlihat dagingnya yang berwarna cenderung kemerahan. Hhmm ... sepertinya aku tidak akan suka memakan red herring, sama seperti aku tidak terlalu menyukai ikan sarden.
Anehnya, aku sama sekali tidak merasa penasaran dengan sosok asli U.N. Owen yang berhasil menjebak 10 orang malang itu di pulau terpencil itu untuk kemudian membunuhi mereka satu per satu. Sepertinya ini merupakan tanda-tanda awal bahwa aku tidak memiliki bakat investigatif sedikit pun. Ha! Ha!

Ternyata kebingunganku akan wujud red herring tidak bertahan lama, karena seperti yang begitu mudahnya diterka, aku ketahuan.
Kakak-kakakku mengomel-ngomel panjang lebar dan mengadu ke Ibu. But to my sisters’ surprise, Ibu sama sekali tidak marah dan justru hanya menasehati dengan nada bijak, bahwa aku harus menunggu hingga berusia 13 tahun terlebih dahulu agar bisa lebih memahami dunia penuh kekejian dan kekerasan semacam yang sedang coba kuselami lewat novel itu.
Mungkin maksudnya adalah, aku harus sedikit bersabar menunggu masa-masa pubertasku dimulai, sebagai isyarat alam bahwa aku sudah mulai beranjak dewasa, barulah aku diizinkan melangkah lebih jauh. Eh, tampak berbelit-belit ya? Not to worry, karena aku juga bingung apa maksudnya saat itu. Untuk lebih jelasnya dan sebagai perbandingan saja, aku masih ingat bahwa saat itu aku pun masih belum diperbolehkan menonton film-film komedi Warkop DKI meskipun sudah berulang-kali ditayangkan di stasiun televisi nasional. Whether you’re going to believe me or not, in our childhood, I and my brother were not allowed to watch any of Dono-Kasino-Indro movies, because my parents believed that they would give bad examples to us by simply exposing and exploiting women’s certain body parts just to create laughs and excitements.
Wrong decision, I guess. But that was another bit of an irrelevant story.

Kembali ke maksud semula tulisan ini, itulah sebabnya mengapa kemudian Kucing di Tengah Burung Dara dan bukan Sepuluh Anak Negro yang menjadi novel Agatha Christie pertama yang selesai aku baca. Barangkali ini menjadi semacam lelucon aneh bagiku, karena ternyata setting misteri pembunuhan dalam novel ini terjadi di sebuah sekolah asrama khusus putri, yang suasananya sedikit mengingatkanku pada St. Claire maupun Malory Towers.
Reputasi dan prestise sekolah yang harus dijaga membuat ibu kepala sekolah terpaksa meminta bantuan dari Scotland Yard, yang kemudian mengutus seorang agen detektif muda belia gagah lagi ganteng pula, Adam Eden (tentu saja, karena begitu tidak lazimnya, sudah pasti ini nama samaran), untuk menyelidiki kasus ini sembari menyamar sebagai tukang kebun sekolah. Ide iseng kemudian merasuk di kepalaku, jangan-jangan tukang kebun baru di tetangga sebelah itu juga seseorang yang menyamar untuk tujuan-tujuan tertentu? Eh, tapi setelah dipikir-pikir lagi, orang itu kok lebih mirip abang-abang tukang sayur yang sama sekali tidak tampak keren. Lantas kusimpulkan bahwa sudah barang tentu dia bukan agen detektif yang sedang menyamar.
Growing up in a place where deaths naturally come to those of elderly people or caused by traffic-accidents – which were very rarely happened, homicide cases in fiction-books always fascinates me.
Itulah sebabnya, sejak cerita tentang berlian yang disembunyikan di dalam gagang raket tennis itu berhasil kutamatkan, dalam hitungan beberapa tahun saja, sudah puluhan novel Miss Christie yang selesai kubaca. Aku pun berkenalan lebih intim lagi dengan berbagai karakter ciptaan beliau yang kerap muncul berulang di dalam cerita-cerita detektif itu, mulai dari Monsieur Hercule Poirot si detektif berkumis tebal dengan kepala bulat telur yang sangat mengandalkan sel-sel kelabu otaknya untuk menyelesaikan perkara, lanjut ke nenek tua lincah dan ceria Miss Jane Marple, terus ke si penulis novel detektif Ariadne Oliver yang sepertinya sedikit neurotic, hingga pasangan kocak Tommy dan Tuppence, to name a few.

Kembali lagi ke maksud awal tulisan ini, kegagalan terus-menerus untuk menebak dengan tepat siapa pelaku kejahatan sesungguhnya berdasarkan motif dan bukti-bukti yang tersedia yang dibeberkan kepada sidang pembaca, lama-lama membuatku menjadi tidak lagi termotivas untuk untuk mencoba peruntunganku menjadi seorang detektif. Biarlah ketekunanku dalam membaca saja yang akhirnya akan membawaku menemui sosok keji pelaku kejahatan yang sesungguhnya.

Bagiku, sudah cukup menarik apabila rasa ingin tahuku akan hal-hal berbau investigasi amatiran menemukan misteri-misteri kecil, trivialities, yang tidak kalah dapat membangkitkan kepenasaranan, yang jawaban-jawabannya baru kutemukan kemudian seiring perjalanan dan bertambahnya pengalaman dalam hidup.
Bahwa mentega cap gentong yang kucampurkan ke dalam adonan bolu ketika membantu Ibu mempersiapkan hidangan Natal ternyata menjadi barang mahal dan langka di masa Perang Dunia II, dan bahwa mentega ternyata memang memiliki rasa dan tekstur ketebalan yang berbeda dengan margarine dapur yang biasa kami pakai sehari-hari di rumah.
While attending farewell party being a senior in high school, I found out the real form, taste and smell of bacon, medium-cooked steak and mustard sauce.
Ketika baru mulai kuliah, seorang teman membelikan muffin coklat dengan imbuhan chocolate chips yang luar biasa lezat yang bisa jadi memiliki keempukan yang sama dengan yang dinikmati para tamu di Hotel Bertram.
Ternyata ikan salmon asap memiliki aroma yang agak aneh dan rasa yang sedikit menggelikan.
Red wine terasa lebih keras dan pahit dibandingkan white wine, meskipun belum lagi dicampur dengan sianida.
Dan bahwa motif karpet Persia yang terkena noda darah dari mayat yang disimpan di dalam peti Spanyol bisa jadi mirip dengan karpet berwarna dasar merah tua yang sudah usang di rumah mendiang nenekku.

Sekali lagi kembali ke maksud awal tulisan ini, bahwa sesungguhnya masih ada beberapa hal kecil lainnya yang hingga kini masih belum jelas bagiku.
Misalnya, seperti apakah sebenarnya wujud dari pohon birch, pohon willow, pohon sycamore dan semak-semak rhododendron?

Maybe I should consult Google or Wikipedia.





* Later on when consulting Wikipedia to support this writing, I found out that the aforementioned Indian movie was titled Gumnaam, and there were only seven passengers plus a flight attendant inside that airplane trapped on that remote island, instead of 10 persons like in the original source. The information on its loose reference to Agatha Christie’s Ten Little Niggers a.k.a. And Then There Were None is noted here, here and here.




- Original version of "Birches, Willows, Sycamores and Rhododendron Shrubs" was posted online on May 17, 2006 under the title "Birches, Willows and Rhododendron" -

No comments: