Thursday, June 11, 2009

My Lost Mobile Phone, Remembered


Kemarin malam salah satu stasiun televisi nasional kembali menayangkan-ulang House of Wax. Film horor yang meskipun kata para kritikus dan pencinta film, adalah sebuah remake yang unworthy and trashy, tapi memiliki makna khusus buatku. Benar-benar khusus, meskipun kalau orang lain tahu kenapa, kesannya akan jadi ga’ penting banget. Haha!

Ehm, memang makna khususnya masih punya kaitan dengan Paris Hilton. Bukan, ini tidak ada kena-mengenanya dengan hubungan antara ’idola’ dan ’penggemar’. Tapi lebih pada karakternya Paris, yaitu Paige Edwards.

Jadi beginilah ceritanya.

Dalam salah satu adegan yang intense, Carly Jones (diperankan Elisha Cuthbert) mencoba menghubungi Paige, yang saat itu sedang asyik-masyuk bercumbu dengan kekasihnya. Tapi namanya kalau birahi sedang memuncak ke ubun-ubun, langsung lupa sama yang lain. Termasuk, mengabaikan panggilan telepon yang masuk.



Hayo, pada ngaku, kalau sedang panas-panasnya foreplay, ga’ peduli anjing menggongong kencang, telepon ribut berdering krang-kring-krang-kring, PLTN mendadak memadamkan listrik, kayanya ’kentang’ banget kalau foreplay-nya diberhentikan. Perintah yang dikirimkan sistem syaraf ke seluruh sensor tubuh biasanya cuma satu: ”Lanjutkan!”.

Seperti itu jugalah yang dilakukan Paige. Penonton hanya diperlihatkan close-up unit telepon genggam yang dipakai Paige. Dan inilah yang membuatku kaget, excited. Jenisnya sama seperti yang kupakai saat itu!! Bedanya, Paige memakai yang warna hijau, aku memakai yang warna merah.

Dengan sedikit norak, aku sempat nyeletuk agak kencang di dalam bioskop yang gelap dan duapertiga kursinya diisi penonton: “Eh! Henponnya sama dengan punya gue!!”, yang langsung direspon oleh teman menontonku dengan gerakan refleks menepuk lengan atasku, “Hush!”.

Hampir empat tahun kemudian, ketika film horror ini kembali ditayangkan-ulang di salah satu stasiun televisi nasional, seakan menjadi pengingat bahwa pada suatu hari yang mendung dan diikuti hujan deras di bulan Ramadhan tahun 2005 Masehi, ketika aku mencoba berpetualang sendiri menuju Bogor menaiki kereta listrik kelas ekonomi yang penuh sesak dari ujung ke ujung sehingga nyaris tidak ada celah sedikitpun karena setiap tubuh sudah saling lekat erat dan rapat, seorang pencopet dengan lihainya sukses mengambil telepon gengamku tersebut yang disimpan di dalam saku ransel yang kucantolkan di depan badan. Inilah salah satu hari tersial sepanjang hidup yang rasanya tak akan mungkin bisa kulupa.

Demikianlah ceritanya, sebab-musabab kenapa setiap kali House of Wax ditayangkan-ulang di televisi, aku jadi teringat lagi satu adegan yang buatku terasa istimewa itu. Meskipun hingga kini, hanya sekali itu saja, di bioskop, aku menonton film horror remaja tersebut sampai selesai. Dan hingga kini pula, hanya sekali itu sajalah aku pernah bepergian seorang diri menaiki kereta listrik kelas ekonomi menuju Bogor, tak ingin lagi mengulanginya.

Peristiwa kehilangan telepon genggam karena kecopetan itu jugalah yang sedikit banyak mengubah cara pandangku hingga kini. Sekarang, aku tak pernah lagi merasa kasihan pada para pencopet yang tertangkap massa lantas digebuki beramai-ramai hingga babak belur. Biar tahu rasa dia, sudah merugikan orang lain!

Bagaimana, penting ga’ penting kan tulisanku kali ini? Haha!




No comments: