Monday, August 11, 2008

The Past-Midnight Caller


Terkadang, entah apa alasannya, Nino bisa bertingkah-laku sangat aneh dan menyebalkan.

Bayangkan saja, apapun dasar logikanya, rasanya tidak bisa membenarkan tindakan Nino yang menelponku hanya untuk menanyakan apakah aku tahu atau pernah mendengar Bright FM dan di mana lokasi kantor stasiun radio berada, … saat waktu masih pukul 2 dini hari!

Padahal saat aku terbangun tergeragap akibat nada dering yang mengagetkan lantas melihat jam di sebelah ranjang dan meraih telpon genggam yang terus berdendang kencang, benakku bertanya-tanya keadaan darurat macam apa yang membuat seseorang menelpon di jam kuntilanak sedang gentayangan mencari mangsa macam ini.
Saat melihat nama si penelepon, aku berpikir sejenak dan otakku berputar cepat, menduga-duga kondisi kritis macam apa yang sedang Nino alami dan apa respon terbaik yang bisa kuberikan di saat-saat semacam ini.

Dugaan kondisi kritis # 1: Nino lagi kegatelan lantas iseng mangkal di Lapangan Banteng. Sialnya, kebetulan malam itu lagi ada razia dan sukseslah dia digaruk Tramtib dan digelandang ke markas Polsek terdekat. Lantas Nino yang tentu saja ga pengen ibunya tahu aib tersebut mencoba menghubungi teman-temannya yang kira-kira bisa membantu mengeluarkan dia dari kantor polisi.
Respon terbaik: Pura-puranya saja aku lagi di rumah saudara di luar kota (Bandung, mungkin?) jadi tidak bisa membantu menjaminkan dirinya keluar dari tahanan.

Dugaan kondisi kritis # 2: Nino lagi kegatelan saat dugem di Stadium terus nemu yang sama gatelnya kaya dia, terus nyangkut deh mereka berdua di kos-kosan teman kencan kilatnya di daerah Karet. Berhubung dia sedang apes dan karena daerah itu memang sering jadi target Operasi Yustisi Polda Metro Jaya, mereka berdua tertangkap basah berduaan tanpa busana di dalam kamar lantas digelandang ke kantor Polsek terdekat. Jadi Nino butuh bantuan seorang teman yang bisa dipercaya untuk menebus dirinya keluar dari kantor polisi.
Respon terbaik: Kalau ada duit cukup buat nebus, ya ditolong (buset dah! kok kaya barang di Perum Pegadaian ya?), kalo tidak ada duit ya terpaksa membiarkan Nino nginap dulu barang sehari di dalam sel. Sekalian biar dapat pelajaran (mahal). Siapa juga yang mau bayar oknum-oknum polisi yang suka memeras itu? Apa mau dikata, kalo begini kondisinya, aku ga mungkin bisa maksa ngebantu dia.

Dugaan kondisi kritis # 3: Nino lagi apes, keluar dugem atau habis entertain klien terus asal naik taksi di pinggir jalan untuk pulang ke rumahnya di Cibubur. Dasar sial, akibat matanya burem kebanyakan minum alkohol jadi sembarangan pilih taksi, eh malah dirampok oleh sopir taksi abal-abal itu beserta komplotannya. Tau sendiri lah kriminalitas dalam taksi makin meresahkan saja belakangan ini, apalagi mengingat penampilan Nino yang blasteran netjis seringkali membuat orang-orang berpikir hidupnya tak pernah berkesusahan. Untungnya (ya, masih ada “untung” juga dalam kondisi apes macam itu), dia tidak dilukai dan handphone-nya tidak diambil. Jadilah dia menelpon teman yang bisa dipercaya untuk menjemput dia di manapun saat itu dia berada.
Respon seharusnya: Harus segera bangkit dari kasur dan bergegas mencarikan pertolongan, tak perduli masih subuh sekalipun. Ini adalah masalah perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Dugaan kondisi kritis # 4: Nino horny. Eh, tapi kondisi ini seharusnya tidak ada sangkut-pautnya denganku ya? Lagipula aku juga tak akan mau menemani dia berburu kupu-kupu malam di Hayam Wuruk.
Respon seharusnya: Rasanya tidak perlu dijawab telpon ini.

But anyway, what really happened adalah aku tetap menekan tombol ”Yes”, mendekatkan handset telepon genggam ke telingaku, dan mendengarkan suaranya yang nyaring itu menyapa.

Namun ketika mendengarkan maksud dan tujuan dia sesungguhnya menelpon di malam buta sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini, sempat emosiku meningkat memuncak dan aku nyaris membanting telepon. Tapi niat tersebut kuurungkan. Rugi banget merusak telpon genggam sendiri karena keanehan orang lain.
Tapi memang, sudah gila apa ya dia? Tidak berpikir dulu sebelum menelpon orang lain pada jam 2 pagi. Padahal, istilahnya, aku sudah bersiap untuk mendengarkan hal-hal terburuk darinya.

Siang hari berikutnya sehabis lunch, kepalaku terasa pusing, berat banget. Pasti proposal TV program baru itu salah satu biang keladinya. Bisa bikin trauma apabila bekerja dengan klien yang nyaris tidak memiliki sense of time-contingency plan. Kalau meeting suka berlama-lama, tapi esensinya tidak terlalu dalam dibahas, karena justru lebih terasa seperti ngobrol ngalor-ngidul di warung kopi. Memangnya klien cuma situ seorang?! Hhmmppff ...

Kucoba relax dengan memutar CD kompilasi lagu terbaik Diana Krall. Jadi ingat bulan depan dia akan perform live di sini. Sita sudah memintaku temani dia menonton sejak akhir Juli, dengan iming-iming dibelikan satu lembar tiket. Pasti bukan Diamond Class, but ...
Menarik juga sih tawarannya, tapi aku lebih cenderung memilih untuk tidak menerima tawaran tersebut. Menemani istri orang lain ke acara semacam itu bisa jadi berbuah persoalan di kemudian hari, terlebih lagi bila begitu banyak orang yang mengenal Sita tahu bahwa sang suami yang pengusaha ternama itu jelas-jelas sedang menunaikan tugas di luar negeri. Kalau sampai dipotret berduaan untuk lembar sosialita majalah manapun, bisa jadi perkara.

Berbicara tentang lembar sosialita, jadi ingat Daniel, yang lebih dikenal di antara teman-temannya sebagai The Tatler Darling.
The reason: because he always showed up multiple times in every edition of Tatler magazine.
Terkadang apabila bertemu dirinya dengan segala kesibukan dan kehebohannya yang khas, bisa membuat orang bertanya-tanya tentang profesi dia yang sebenarnya. Atau jangan-jangan dia dibayar Tatler untuk meliput acara-acara sosialita itu ya? Such a possible idea, until one look for his name di antara nama-nama anggota redaksi dan tidak menemukan nama Daniel di situ.

Lucunya, saat Daniel berkenalan dengan William, dia mengaku sebagai eksekutif di salah satu advertising agency terkemuka yang berkantor pusat di salah satu negara Eropa. Mungkin itu salah satu triknya untuk bisa mengakrabkan diri dengan William. Dan mungkin karena terlalu mudah percaya pada itikad baik orang lain, seperti Serena van der Woodsen, William percaya saja pada Daniel, until one day I met Daniel in a meeting and he was the one representing a famous local record label. Membingungkan. Tapi sepertinya bukan urusanku untuk mengkonfrontir Daniel. I don’t really care whether he was telling the truth to William or not. Would rather distance myself with this kind of issue.

Tapi kalau soal urusan telpon-menelpon di jam-jamnya Regular Joes sedang terlelap tidur, nah yang ini jelas aku tidak bisa mengambil sikap acuh. Seenaknya Nino menelponku jam 2 pagi. Harus kubalas! Tapi dengan apa ya? Rasanya setelah dipikir-pikir ulang, better not make a fuss about this one. Biar sajalah, siapatau memang pada saat itu Nino sedang dalam kondisi kebingungan menjurus panik, because I know he needs to find a job that pays well really soon.

Oh, darn! Talking about job that pays handsomely, jadi ingat kalau aku belum mengurus reimbursement transportasi bulan ini. Sekali jalan sih jumlahnya tidak banyak, tapi kalau diakumulasikan satu bulan, bisa setara dengan harga sebuah Zara Men’s bag. Jumlah yang lumayan banget kan.
Awalnya aku tidak terlalu peduli dengan urusan hitung-menghitung ganti ongkos transport ini, simply because I was too lazy collecting all data and receipts and calculate all those numbers, sampai ketika seorang teman yang bekerja sebagai kepala divisi marketing sebuah brand kosmetik premium dari luar negeri beralasan keterlambatannya datang ke acara ngopi-ngopi karena harus mengumpulkan semua tiket parkir, tol dan strook bensin dan mengurus reimbursement-nya ke divisi finance terlebih dahulu.
And this friend actually earns multi-millions more than what I make monthly.

Oh, well. The irony of life.

No comments: