Friday, August 8, 2008

Memanjat Pinang di Beijing


Bulan Agustus setiap tahun tentunya selalu terasa istimewa bagi begitu banyak orang di Indonesia. Disebut “begitu banyak”, karena memang kita tidak bisa mengklaim SEMUA.
Sebab sebagaimana mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di masa-masa sekolahan dulu menginformasikan bahwa, belum tentu individu yang menjadi penduduk Indonesia adalah warga negara (here enters that kaleng-krupuk-acting-quality of the so-called actor, Miller, and that one-hit-wonder, Maribeth).

Pertanyaannya sekarang, mengapa bulan ke-8 ini disebut istimewa? Apakah karena angka 8 disebut-sebut sebagai angka pembawa keberuntungan, khususnya bagi etnis Tionghoa? Belum tentu juga, meskipun bisa jadi demikian adanya.

Bulan Agustus, seperti yang umumnya diketahui oleh Dear Devoted Readers, adalah bulan di mana lomba panjat pinang menjadi sangat penting. Entah sejak kapan, siapa pencetusnya, dan bagaimana lomba panjat pinang ini bermula, yang jelas sekarang ini memanjat batang pinang yang dilumuri benda-benda licin – biasanya oli – menjadi semacam agenda wajib Agustusan. Tentu saja dalam rangka merayakan hari jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tahun 2008 ini resmi berusia 63 warsa. Masih banyak lomba-lomba lain yang biasanya dikaitkan dengan perayaan kemerdekaan ini, yang penting sifat perlombaan tersebut haruslah meriah dan bisa melibatkan partisipasi sebanyak mungkin orang, tapi rasanya yang paling identik dengan perlombaan tujuhbelasagustusan, ya lomba panjat pinang ini.

Di kampung sekitar kantorku, lomba Agustusan dijadikan justifikasi untuk menutup jalan dan – percaya ga percaya – berjudi. Memanfaatkan jalan umum dengan menutup seluruh aksesnya, karena saking tidak adanya lahan untuk dijadikan venue lomba, dilakukan sebagai solusi bagi pelaksanaan beberapa pertandingan antarwarga masyarakat kampung sini. Jalan umum dijadikan venue berbagai pertandingan, mulai dari venue buat lomba balap karung dan bakiak di pagi hari sampai untuk menggelar meja pingpong di malam hari.
Buat pengguna jalan yang hanya berstatus numpang lewat, misalnya kami para buruh kerah putih yang kantornya kebetulan selama puluhan tahun sudah menempati satu bidang lahan khusus di kampung sini, terpaksa harus berkorban perasaan. Mencari jalan memutar agar mobil dan motor yang dikendarai bisa masuk ke halaman kantor.

Atau dalam kasus khusus seperti diriku yang setia berjalan kaki ke kantor, selama dua tahun lebih sudah memperbabukan diri di pabrik kreativitas ini, terpaksa harus menebalkan kulit sedikit dan menjadi ”bintang tamu yang tak diundang” di tengah kemeriahan acara perlombaan dengan menjadi model sesat (baca: nyasar) sesaat. Rasanya khusus bagian ini, kurasa tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Secara ga relevan juga, betul kan?

Nah, berkaitan dengan bidang bisnis yang digeluti, maka jam kerja di kantorku pun agak elastis, sama seperti di kantor kebanyakan pelaku bisnis kreatif lainnya. Pulang jam 6 sore itu terlalu pagi, jam 9 malam itu biasa. Masuk kerja di akhir pekan? Bukan sesuatu yang tidak wajar.
Kendalanya, penduduk kampung sini kebanyakan adalah orang-orang yang kehidupannya normal-normal saja, dalam artian tipe pegawai negeri sipil maupun pekerja semiformal. Saat sinetron Cinta Laura masih ditayangkan atau acara lomba nyanyi amatiran Indosiar baru mengudara, kebanyakan penduduk kampung sini sudah pada nongkrong di depan TV masing-masing. Biasanya setelah selesai nonton TV, baru acara lomba khusus kaum dewasa dimulai. Tentu saja bukan aktivitas seks yang kumaksud di sini, melainkan pertandingan antarwarga berusia dewasa, misalnya, ya pingpong yang sudah disebutkan tadi.
Atau yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dewasa, pertandingan gaple. Entah spirit kemerdekaan apa yang bisa dikaitkan dengan gaple, namun disinyalir pertandingan gaple ini melibatkan pertaruhan uang di dalamnya. Seperti yang pernah diklaim oleh salah seorang rekan, ”Ga seru, jack, kalo ga pake duit!” Ada semacam keseruan dag-dig-dug apabila ada yang dipertaruhkan. Apalagi jika yang dipertaruhkan itu dianggap memiliki nilai strategis yang sangat penting, misalnya reputasi atau nama baik.

Berkaitan dengan reputasi, bagi pemerintah Republik Rakyat Cina, ini adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Pihak manapun yang dianggap bisa dan akan menggunakan momen Olimpiade Beijing 2008 sebagai ajang untuk protes dan menyuarakan pendapat politiknya terhadap posisi super sensitif pemerintah RRC dalam begitu banyak isu: mulai dari pelanggaran HAM, pelaksanaan hukuman mati, hingga yang lebih kekinian lagi, peran Cina dalam konflik Darfur dan penumpasan aksi prodemokrasi di Tibet, tidak akan ditoleransi dan tentunya akan menghadapi resiko berat.
Atau setidaknya khawatir akan terkena resiko tertentu, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh atlet-atlet Jerman, mengingat bahwa International Olympic Committee dalam Pasal 51 pun sudah dengan tegas mengatur tentang hal ini.
Meskipun tidak mengaitkannya dengan Pasal 51 tersebut, Beijing sudah menunjukkan ketegasan sikapnya yang tidak bisa ditawar-tawar lagi hanya dalam hitungan hari sebelum dimulainya Olimpiade Beijing, ketika Joey Cheek, atlet, dicabut visanya hanya beberapa jam sebelum ia bertolak ke Beijing. Meskipun keberadaannya di Beijing bukanlah untuk berkompetisi, karena Cheek adalah atlet speedskating – salah satu cabang pertandingan olimpiade musim dingin – melainkan untuk meningkatkan awareness terhadap isu Darfur, maka pemerintah Cina tidak perlu khawatir citranya akan tercoreng terkait kasus Joey Cheek ini.

Bagaimana dengan posisi atlet-atlet Indonesia sendiri? Tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka. Atlet-atlet kita tentunya tidak akan mengusik-usik pemerintah RRC terkait isu apapun, mengingat bahwa tekanan untuk membawa pulang medali sudah jauh lebih besar. Harapan ratusan juta penduduk negeri ini mesti ditanggung saat memasuki arena pertandingan untuk berlaga. Pastinya berat sekali beban ini. Untuk itu, dukungan moril dalam bentuk apapun, mudah-mudahan bermanfaat.
Siapa sih yang tidak ingin menyaksikan kembali kejayaan anak bangsa di ajang olahraga paling bergengsi di muka bumi? Siapa yang tidak ingin merasakan lagi kebanggaan yang membubung tinggi saat melihat atlet Indonesia berhasil meraih medali emas Olimpiade?


Aku tidak bisa melupakan ekspresi haru di wajah Susi Susanti ketika ia berhasil meraih medali emas pertama dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di ajang Olimpiade. Saat itu, aku yakin, ratusan juta rakyat Indonesia tentunya berbagi rasa bangga yang sama ketika mendengarkan lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan di Barcelona.

Semoga saja, di Olimpiade Beijing 2008 yang akan resmi dimulai tepat pukul 8 malam waktu setempat nanti, atlet-atlet Indonesia akan kembali berjaya mendulang medali sekaligus menorehkan prestasi gemilang di cabang olahraga manapun yang mereka ikuti.

Selamat bertanding atlet-atlet Indonesia!

No comments: