Friday, May 16, 2008

"Kueh Nastar Paling Enak di Kampung Sini"



"Terimakasih, sudah kenyang!", "Terimakasih, sudah kenyang!", demikianlah ucapan tersebut terdengar berulang-ulang dalam iklan margarin Blue Band versi Lebaran tahun ini. Adegannya memperlihatkan satu keluarga kecil yang terdiri dari ayah-ibu dan seorang anak lelaki kecil yang setiap kali ditawari makanan ringan dalam kunjungan silaturahmi Lebaran mereka selalu menolak dengan halus.

Kenapa eh kenapa, mereka selalu menolak tawaran makanan ringan itu? batinku memprotes.

Sebel banget, sementara tahun ini aku kan ga bisa berlebaran ke rumah siapapun, jadi ga bisa makan ketupat dan opor ayam, apalagi makan kueh-kueh kering berkalori tinggi favoritku!

Menu sehari-hariku saat libur Lebaran ini ya hanya berupa camilan ringan biskuit atau menu khas a la mahasiswa ngekost. Don't bother to tell, I know you can easily guess :-p

Eh, pas lagi pencet-pencet remote TV, kebetulan pas lagi ada Bajaj Bajuri. Episode spesial Lebaran.

Momennya pas banget kali ya. Jadinya malah teringat waktu menghabiskan tiga akhir pekan pertama bulan Ramadhan bersama Billy. Kita selalu berbuka bersama – meskipun aku tidak berpuasa – dengan makan kolak pisang buatannya sendiri sambil tertawa bersama melihat tingkah polah kocak dan kekonyolan khas sinetron Bajuri.
Sebenarnya kolak buatan Billy tidak pernah stabil rasanya. Kadang kala terlalu manis, terkadang nyaris hambar, karena saat mengolahnya, Billy selalu meminta aku yang mencicipinya. Semua masakannya saat aku di situ memang disesuaikan dengan seleraku. Dan “masalah”-nya, aku sendiri tidak pernah bisa yakin 100% dengan kemampuan indra pengecapku. Ha!
Yang pasti, rasa masakan Billy tidak boleh terlalu asin karena nanti bisa membuat aku minum terus sampai kembung untuk hilangkan rasa kering di lidah yang kemudian bisa mengakibatkan aku bolak-balik ke toilet dan mungkin akan mengganggu tidurnya pada malam harinya.
Tidak boleh juga terlalu manis karena sesudah menyantapnya aku akan menjadi hiperaktif, atau yang lebih parah, membuatku mengantuk dan tertidur hanya setengah jam setelah makan.
Apapun masakannya, tidak boleh terasa pedas, karena memang Billy tidak tahan rasa pedas (yang sebenarnya membuatku heran bagaimana cara dia waktu itu bisa bertahan hidup di India selama setahun dan kemudian di Meksiko selama nyaris 6 bulan).

Namun karena aku sudah hampir setahun ini selalu menghindari konsumsi gula, lidahku pun sudah beradaptasi untuk mengecap semua makanan bergula sebagai 'terlalu manis'.
Jadi ketika aku melihat perubahan ekspresi wajah Billy setelah menyuapkan sendok pertama kolak tersebut ke dalam mulutnya, saat itu juga aku sadar ada yang keliru dengan rasanya.
Kumasukkan suapan pertama ke dalam mulutku. Hmmm, memang tidak manis, kolak tanpa jejak rasa gula.
Aku langsung merasa malu dan meminta maaf, tapi dengan tersenyum manis Billy menghiburku, ga apa-apa kok, katanya, emang ga baik juga kalau mengkonsumsi terlalu banyak gula. Toh aku juga sudah siapkan teh manis untuk kita, katanya untuk menghiburku.
Lalu dia berjalan ke meja dapur dan mengambil dua buah mug berisikan teh dilmah yang masih mengepulkan asap, dan memberikan satu padaku.

Sudah pas kan manisnya rasa teh ini? tanya Billy. Sudah kok, jawabku. Sudah pas manisnya semanis senyum kamu.
Kulihat Billy jadi tersenyum malu. Kamu itu ya, suka banget menggoda aku, protesnya.
Melihat ekspresi malu-malu di wajahnya, aku cuma tertawa ha ha ha … namun saat itu pikiranku melayang pada Bradley yang pernah beberapa kali 'menuduhku' sebagai seorang "lelaki penggoda profesional". Atau bahkan, terkadang tanpa menyadarinya, sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh gerakan tubuh dan ekspresi wajahku seakan menggoda lawan bicaraku. Tapi itu kata Bradley, yang meskipun merupakan salah satu sahabatku, terkadang ucapannya tidak bisa diandalkan.

Kembali ke cerita Bajaj Bajuri episode spesial Lebaran, Said dan Ucup yang ingin wisata boga selama Lebaran memutuskan mendatangi rumah Mpok Minah terlebih dahulu dalam rangkaian 'tur' mereka. Alasan utama mereka berdua sangatlah sederhana.
Lo kan tau sendiri, Cup, demikian Said, kalo kue nastarnya mpok Minah itu udah terkenal paling enak di kampung sini!
Lalu pergilah mereka berdua untuk berlebaran ke rumah Mpok Minah, dan kekocakan pun terjadi saat Said dan Ucup rebutan menghabiskan isi stoples kue nastar, sembari berpura-pura bersalaman dengan Mpok Minah untuk meminta maaf.

Kamu lg dmn &ngaps? Aku lg nontn Bajuri, crtny Said&Ucup rbutan nastar. Jd pengen nastar jg, tp lg ga ada yg bisa kukunjungi skrg. Kangen. [Message sent to Billy. Message delivered to Billy]

Mudah-mudahan KartuHalo-nya diaktifkan untuk roaming internasional, pikirku.
Semoga SMS-ku diterima Billy yang tentunya saat ini sedang berkumpul bersama keluarga besarnya di Penang, kepulangannya ke rumah orangtuanya untuk pertamakalinya setelah ayahnya meninggal empat tahun lalu.

[1 new message received]
Me 2. Ada nastar kok d rmh. Nxt wiken kamu datang yah. Hugz.

Aku tersenyum lebar. Billy juga tidak terlalu menggemari makanan ringan yang manis-manis. Merusak gigi, katanya. Selain itu dia berusaha untuk tidak menambah besar lingkar pinggangnya, dan itu artinya cuma satu: diet. Plus dia selalu senang jika melihat aku makan dengan lahap. Itu artinya, dia pasti akan membiarkan aku menghabiskan nastar miliknya. Hehehe …

"Terimakasih, sudah kenyang!" Ah, iklan itu lagi. Namun kali ini perhatianku tertuju pada bentuk-bentuk lucu kue kering yang terpampang di layar kaca. Ada yang berbentuk bintang, ada yang menyerupai bulan sabit.
Tapi tidak ada kue ulat, batinku sambil kembali tersenyum lebar.

Biasanya kue ulat favoritku dan saudaraku Matt baru tersedia di rumah dua minggu menjelang Natal. Ketika masih duduk di sekolah dasar, kami berdua selalu tidak sabar menanti datangnya Natal dan Tahun Baru, karena itu artinya datangnya masa-masa istimewa, bisa makan enak dan banyak.

Bolu sarang lebah. Lontong sayur. Agar-agar pelangi. Bolu pandan. Ayam kampung panggang.
Makanan yang sepertinya kini tampak sederhana namun di kala itu terasa begitu istimewa, karena memang hanya dihidangkan pada saat-saat istimewa bersama seluruh anggota keluarga.

Waktu itu menjelang akhir dekade 1980-an. Saat itu anggota keluarga kami masih lengkap dan punya tradisi untuk selalu berkumpul bersama di rumah menjelang Natal. Biasanya aku dan Matt dibiarkan Ibu bermain-main apa saja yang sedang kami ingin mainkan, dan biasanya kami bermain perang-perangan bersama anak-anak sekompleks. Sesekali ketika mulai merasa haus, aku atau Matt menyelinap masuk ke dapur untuk minum, sembari mata kami sibuk mencari-cari benda apa saja yang bisa dimakan.
Jika kami sedang beruntung, di atas meja di dalam loyang masih tersusun kueh-kueh kering yang baru selesai dipanggang. Biasanya kalau sudah melihat pajangan itu, aku dan Matt akan mencoba mengambil kueh-kueh tersebut langsung dari loyangnya, yang seringkali masih panas karena baru saja dikeluarkan dari dalam oven. Saat itu rasanya risiko jari melepuh sebanding dengan kenikmatan sepotong kueh kering.

Dan seperti biasanya salah-satu kakak atau malah Ibuku akan mengusir kami keluar dari dapur, memukul pelan tangan kami yang terulur meraup setumpuk kueh jika sempat, atau jika sedang tidak terlalu repot karena semua adonan kueh hari itu sudah selesai atau sedang dipanggang dan apabila sedang berbaik hati, kami akan diberi masing-masing dua potong kueh kering.
Bentuknya macam-macam dan lucu-lucu, tapi favoritku saat itu adalah kueh yang bentuknya memanjang dan seperti berbuku-buku, persis seperti keluarga ulat-ulatan yang pernah kami lihat dari siaran dokumenter TV2 Malaysia. Ulat putih yang lucu dan merayap di atas daun.

Aku tidak ingat lagi siapa di antara kami berdua yang memiliki ide cemerlang dan membaptiskan kueh berbentuk panjang berbuku-buku itu dengan nama yang tidak lazim, namun sejak saat itu kueh kering tersebut di keluarga kami dikenal sebagai kueh ulat.

Biasanya pada minggu-minggu awal bulan Januari ketika hendak memulai pelajaran agama, aku dan Matt berangkat ke sekolah sambil membawa bekal kueh-kueh dari rumah. Karena Ibuku memang gemar memasak dan saat itu beliau masih memiliki banyak "tenaga ahli" (yaitu, kakak-kakakku) yang siap membantunya di dapur, kami berdualah yang biasanya membawa kueh paling banyak dan paling beragam ke sekolah.
Sebelum pelajaran agama dimulai dengan menyanyikan lagu pujian dan doa pembuka, kami melakukan pertukaran kueh-kueh yang dibawa dengan sesama teman. Saling mencicipi dan mengomentari. Jika ada teman yang membawa kueh kering yang ternyata dibeli dari pasar swalayan dan bukan dibuat sendiri oleh keluarganya, biasanya kueh bawaannyalah yang paling terakhir habis.

Dengan sedikit senang dan bangga aku mengeluarkan sebungkus kueh kering dengan bentuk-bentuk lucu. Malam sebelumnya aku sudah berpesan kepada kakakku yang membantu membungkuskan kueh-kueh itu agar memasukkan lebih sedikit kueh ulat daripada kueh-kueh bentuk lainnya.
Ah, ini semua kan sama saja, demikian kata kakakku saat itu. Tapi aku tidak percaya dan bersikeras bahwa beda bentuknya berarti beda pula rasanya. Lalu bungkusan kueh kering bawaanku mulai kuedarkan berkeliling.

Ah, kebanyakan kue semprit, protes Robin sambil tangannya merogoh kantung kuehku dan mengambil kueh ananas.

Iya nih, semprit semua, sambung Jim, namun tangannya tetap masuk ke kantung dan meraup segenggam kueh kering plus dua potong bolu.

Kok kalian menyebutnya kueh semprit? tanyaku polos.

Iya, soalnya biarpun bentuknya macam-macam, kan semuanya dibuat dari satu adonan yang sama saja, jawab Jim si gembul sambil mulutnya sibuk mengunyah-ngunyah.

Sebenarnya bukan jawaban yang sesuai untuk pertanyaan yang aku ajukan, namun pada saat itu pikiranku tertuju pada potongan informasi yang baru saja kudapatkan.
Satu adonan yang sama? Ah, masa sih?

Sorenya sepulang sekolah, aku mencari Ibuku yang saat itu sedang berada di dapur sibuk menyiapkan makan malam.
Masih kuingat saat itu kulihat matanya tampak merah seperti habis menangis, namun aku menyangka matanya perih karena terkena asap dari wajan penggorengan.

Tadi temanku bilang kueh ulat dan kueh-kueh lainnya itu sebenarnya namanya kueh semprit. Masa bentuknya macam-macam tapi namanya sama? Kok bisa? tanyaku.

Dengan tersenyum manis, jenis senyuman yang di kemudian hari secara otomatis cenderung akan kita tiru dari orang-orang yang telah lebih dulu dewasa daripada kita, yang kemudian pada gilirannya terbiasa kita perlihatkan jika mendapatkan pertanyaan polos dan lucu dari seorang anak kecil, ibuku menjelaskan bahwa semua kueh yang berbeda-beda bentuknya itu sebenarnya memang hanya dari satu jenis adonan, karena memang bahan pembuatnya sama saja.

Jadi meskipun kamu lebih menyukai kueh ulat karena bentuknya yang lucu dan lebih menarik daripada bentuk kueh kering lainnya, tapi sebenarnya mereka semua sama saja karena memang terbuat dari bahan yang sama, jadilah mereka sama-sama kueh semprit. Tapi bukan namanya yang menjadi masalah sekarang, karena yang paling penting, rasa kuehnya enak dan kamu suka memakannya, demikian Ibuku mencoba memberikan penjelasan paling sederhana yang paling gampang dipahami oleh seorang bocah berusia tujuh tahun.

Lalu lanjutnya, Itu kurang-lebih sama seperti kamu dan Matt. Kalian berdua sama-sama anak lelakiku. Wajah kalian berbeda dan nama kalian pun berbeda. Tapi kalian berdua sama-sama dibuat Tuhan dari bahan yang sama dan diberikan kepada aku dan Bapakmu beberapa tahun lalu untuk dibesarkan dengan penuh kasih-sayang dan cinta.

Saat menjelaskan hal tersebut, Ibuku telah berlutut di hadapanku dan sambil menatapku melanjutkan penjelasannya, Dan karena kalian berdua sebenarnya sama, tidak ada satupun yang lebih disukai daripada yang lain. Kalian berdua sama-sama anak lelaki yang sangat aku sayangi, lalu ibuku meraih tubuhku dan membawanya ke dalam pelukannya yang selalu terasa hangat, nyaman dan menentramkan, dan diapun menangis.

Aku tidak pernah menyangka pertanyaan sepele tentang kueh kering bisa membuat seseorang begitu terharu hingga menitikkan air mata, namun saat itu aku merasa sangat menyesal mengajukan pertanyaan bodoh yang ternyata mampu melukai perasaan seseorang yang sangat aku kasihi, terlebih orang itu adalah Ibuku sendiri.

Namun sama seperti kesalahpahamanku tentang kueh kering itu, ternyata aku sudah keliru mengartikan tangisan Ibu.

Sore itu Bapak pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya. Awalnya aku dan Matt merasa senang melihatnya sudah ada di rumah bahkan sebelum berita sore tayang di TV. Namun melihat ekspresi wajahnya, ditambah dengan semua gerakannya yang serba tergesa-gesa, belum lagi nada bicaranya yang jadi jauh lebih cepat daripada biasa, kami berdua tahu ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Aku dan Matt sempat merasa resah. Jangan-jangan ada kesalahan yang tanpa kami sadari telah kami perbuat. Tapi kok ya, kami belum juga dipanggil dan disuruh berdiri di hadapan Bapak dan Ibu? Ini benar-benar sesuatu yang tidak biasa.

Yang terjadi malah aku dan Matt disuruh menonton TV saja dan bukannya mengerjakan pe-er seperti kebiasaan kami setelah bangun dari tidur siang, sambil ditemani oleh salah seorang kakakku.

Malam harinya barulah kuketahui alasan sebenarnya, setelah salah satu Tante kami datang ke rumah untuk mengawasi aku dan Matt. Betul sekali, aku menolak menyebutnya sebagai baby sitter karena implikasi kata bayi padaku yang sudah berumur tujuh tahun terasa merendahkan dan memalukan.
Tante memberitahu kami berdua saat kamu sudah berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur, bahwa ibu dari Ibuku, yaitu nenekku yang tidak pernah aku kenal dan rasanya memang tidak pernah kutemui sebelumnya, telah meninggal dunia pagi itu.
Dan keberadaan si Tante yang baru tiba itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena dia akan bertugas sebagai pengawas dan wali kami selama kepergian kedua orangtuaku.
Sementara itu Bapak dan Ibu harus bergegas mengejar bis antarpropinsi yang berangkat malam itu menuju kota kecil tempat kelahiran Ibu, karena memang dari kota kami ke sana butuh waktu dua malam perjalanan dengan bis. Mereka akan pergi selama kurang-lebih seminggu. Sepanjang ingatanku, inilah kali pertama mereka berdua pergi meninggalkan kami anak-anaknya untuk waktu yang cukup lama.
Saat itu, begitu mengetahui kondisi yang akan kami hadapi selama satu minggu yang akan datang tersebut, aku mulai menangis, sedemikian keras sehingga harus dibujuk oleh Ibu. Dengan kata-kata lembut dia coba yakinkan kami berdua bahwa kepergian mereka kali ini bukanlah untuk bersenang-senang, namun situasilah yang mengkondisikannya menjadi demikian. Dan bahwa kami berdua tidak diajak serta dalam perjalanan ini karena kami harus bersekolah dan musim ujian sudah menjelang.

Hingga belasan tahun kemudian, kini ketika aku sendiri sudah hampir dua tahun tidak pernah lagi bertemu Ibu, aku masih tidak bisa melupakan saat itu ketika untuk pertama-kalinya aku melihat Ibu menangis di hadapanku.

Dan aku kira penyebabnya adalah karena pertanyaanku yang sepele tentang kueh kering berbentuk ulat.









* * *
"Kueh Nastar Paling Enak di Kampung Sini" pertama kali dipublikasikan online pada tanggal 10 November 2005. Tulisan di atas telah mengalami beberapa perubahan minor - khususnya pada pemenggalan paragraf dan penggunaan tanda baca - dari format original. Beberapa nama yang dicantumkan di atas juga telah mengalami perubahan untuk menghindari hal-hal tertentu di kemudian hari.

No comments: