Friday, June 20, 2008

It's Very Hard Out There for Refugees


Is there a time for keeping your distance
A time to turn your eyes away
Is there a time for keeping your head down
For getting on with your day


Setiap tanggal 20 Juni, kita diajak mengingat nasib para pengungsi. Hal ini karena Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui Resolusi Majelis Umum pada tahun 2000, menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pengungsi Sedunia - World Refugee Day. Menurut Wikipedia, tanggal 20 Juni sebelumnya diperingati sebagai Hari Pengungsi Afrika di sejumlah negara di benua tersebut. Dan masih menurut sumber yang sama, penduduk Inggris Raya memperingati World Refugee Day ini sebagai bagian dari Minggu Pengungsi – Refugee Week, yaitu sebuah festival berskala nasional yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap dan merayakan kontribusi budaya dari para pengungsi. Menarik.

Barangkali bagi banyak orang di sekitarku, persoalan pengungsi adalah satu masalah yang tidak nyata. Karena para pengungsi dipersepsikan sebagai sekumpulan orang bernasib sial yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka yang entah bagaimana kondisi sebelumnya – karena memang tidak pernah didatangi secara langsung oleh ‘pihak pengamat’ – menuju tempat lain yang juga tidak begitu jelas kondisinya (bagi ‘pengamat’ ybs.). Or perhaps, we’re simply being ignorant.
Atau barangkali media massa yang seringkali mengekspos penderitaan para pengungsi ini juga bisa jadi penyebabnya. Mengingatkanku pada penggambaran dalam salah satu cerpen Jhumpa Lahiri di dalam bukunya yang meraih penghargaan Pulitzer, The Interpreter of Maladies. Penderitaan para korban perang India melawan Pakistan di daerah pengungsian pada awalnya menjadi topik utama berita malam, yang disaksikan oleh satu keluarga imigran India ini di layar televisi saat menikmati makan malam. Seiring perjalanan waktu, porsi berita tersebut makin bergeser ke segmen berikutnya, hingga akhirnya menghilang sama sekali dari berita malam karena dimasukkan ke dalam berita larut malam yang penontonnya tidak banyak. Alasannya gampang, pemirsa yang sebelumnya memiliki interest tinggi mulai bosan disuguhi berita konflik yang itu-itu saja.
Keadaan yang mirip juga terjadi dulu ketika TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi negeri ini yang berhak memproduksi siaran berita. Masih kuingat ketika itu aku masih duduk di sekolah dasar, dan berita TVRI dari international desk mereka baru dipancarluaskan pukul 21.00 WIB. Waktu itu beberapa kali tugas dari sekolah adalah menonton berita malam untuk kemudian dilaporkan ulang dalam pelajaran bahasa. Berhubung aku masihlah seorang anak kecil dan selalu makan makanan dengan teratur dan sehat – tidak mengandung banyak gula yang membuat orang cenderung hiperaktif akibat “overdosis” gula (sugar high) – jadinya jam 9 malam sudah terkantuk-kantuk saja. Meskipun demikian, tetap dipaksakan untuk menonton berita malam dengan ditemani Bapak yang asyik membaca koran, semata-mata agar keesokan harinya tidak dihukum berdiri di depan kelas karena tidak mengerjakan tugas laporan.
Masa itu adalah ketika Republik Yugoslavia bentukan mendiang Tito pecah menjadi negara-negara kecil yang sepertinya – kalau ingatanku tidak keliru – kebanyakan dibentuk berdasarkan basis mayoritas etnisitas penghuni kawasan geografis tertentu. Pokoknya masa itu peta seluruh dunia mendadBosnia-ak kedaluarsa, seiring terbentuknya negara-negara baru seperti Serbia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Macedonia dan entah apalagi. Lalu di antara negara-negara ini mulai sibuk saling memerangi satu dengan yang lain. Yang masih kuingat, sepanjang tahun, mas-mas dan mbak-mbak pembaca berita TVRI (say hello to the legendary Tengku Malinda !) mengakrabkan pemirsa dengan nama-nama Balkan, serta tragedi kemanusiaan yang membuatku ngeri sendiri untuk membayangkannya. Setiap malam, yang terlihat selalu tentara berbaris, deretan tank, senjata yang meletus, gedung-gedung hancur tak berbentuk atau habis dilalap api dengan asap membubung tinggi. Juga orang-orang tua, ibu-ibu dan anak-anak bermuka cemong berbaju rombeng sedang menangis. Menyedihkan, tapi entah mengapa, saat itu bagiku mereka terasa kurang nyata. Mungkin karena semuanya terjadi di belahan bumi yang berbeda, atau bisa jadi karena warna kulit kami yang tidak sama.
Kesan yang kurang-lebih mirip juga masih kudapatkan saat “berkenalan” untuk pertama kalinya dengan Christianne Amanpour, jurnalis CNN yang melaporkan langsung dari Goma. Dengan logat bahasa Inggrisnya yang kental, mungkin aksen Mediterania, setiap hari layar televisi keluarga kami disesaki oleh gerombolan manusia berkulit hitam, para pengungsi etnis Hutu yang melarikan diri dari ancaman genosida di Rwanda. Sepanjang jalan, yang diperlihatkan kepada kami adalah ribuan manusia berbaris berjalan kaki dengan memanggul barang apapun semampu mereka, atau puluhan tentara yang sedang menyandang senjata dengan muka bengis dan tatapan beringas, atau gelimpangan mayat yang berserakan di mana saja seperti ratusan lalat yang menemui ajalnya akibat disemprot insektisida lantas bangkai-bangkainya dibiarkan begitu saja di tempat mereka jatuh dari langit. Tidak beraturan. Mengerikan, karena sepertinya tidak ada seorangpun yang merasa berkepentingan untuk membereskan semuanya hingga menguburkan seluruh mayat tersebut. Saat itulah, dan barangkali seiring pertambahan usia juga, aku mulai mengerti seutuhnya betapa sangat tidak enaknya hidup sebagai pengungsi. Dan sepertinya sejak saat itu respon otakku adalah secara otomatis memblokade pemikiran-pemikiran tentang penderitaan para pengungsi, sehingga rasa simpati terhadap penderitaan manusia lainnya itu menghilang entah ke mana.

Hingga satu ketika, saat aku masih di tahun ketiga universitas. Hari itu aku kebetulan mengunjungi sebuah pameran buku, dan mataku tertuju pada salah satu buku fotografi yang didiskon, kompilasi foto-foto pemenang penghargaan World Press Photo tahun 1990-an. Di dalamnya, untuk bagian foto berita – yaitu serangkaian foto dari satu topik yang sama – mataku kembali melihat mereka, para pengungsi Rwanda. Salah satu foto yang kemudian sukar kulupakan memperlihatkan orang-orang dewasa yang berlarian dan dua orang bocah hitam yang meringkuk menangis dengan wajah sangat ketakutan. Teks yang menyertai foto tersebut menjelaskan bahwa foto diambil ketika tentara Tutsi menyerbu masuk kamp pengungsi dan menembaki mereka secara membabi-buta. Usai membaca teks tersebut mataku kembali terpaku pada ekspresi kedua bocah tersebut. Entah bagaimana persis terjadinya, tapi kuingat saat itu mataku berkaca-kaca, dan aku harus buru-buru mendongak sambil mengerjapkan kelopak mata beberapa kali, berpura-pura seolah mataku perih akibat kebanyakan membaca, padahal sebenarnya ingin mencegah agar jangan sampai orang-orang tahu aku sangat tersentuh melihat foto itu. So as not to let my softer side shows.

Akan tetapi, foto-foto peraih penghargaan tersebut bisa jadi mewakili perasaan kebanyakan orang mengapa mereka – dan aku juga – mengalihkan pandangan dan pikiran dari penderitaan para pengungsi. Karena foto-foto tersebut seakan mengingatkan kita pada betapa rapuhnya hidup ini. Karena foto-foto tersebut bisa membuat kita merasa tidak nyaman akan kenikmatan hidup yang sedang kita rayakan, sementara kita tahu dan sadar sepenuhnya bahwa pada saat yang sama, di belahan bumi yang lain, ada orang-orang yang bahkan belum tentu bisa makan tiga kali sehari karena mereka tidak memiliki apapun selain pakaian yang melekat di badanm karena mereka terpaksa menjadi pengungsi, dan karena terbuang dari tempat tinggal mereka sendiri.


Is there a time for kohl and lipstick
A time for curling hair
Is there a time for high street shopping
To find the right dress to wear


Hidup sebagai pengungsi sudah pasti tidak enak. Barangkali itu menjadi sebab mengapa – mungkin – banyak orang di sekitar kita, dan barangkali diri kita sendiri, masih ‘bersyukur’ bahwa para pengungsi tersebut hadir dalam kehidupan kita melalui medium perantara.
Para pengungsi ini hanyalah sekumpulan orang-orang bernasib sangat sial yang tampil di foto-foto di koran dan majalah, atau terlihat lebih hidup lewat tayangan siaran berita. Kalau tidak suka melihat mereka, lempar saja korannya jauh-jauh, tutup dan singkirkan majalahnya, atau ganti channel televisinya. Begitu mudahnya untuk menyingkirkan mereka dari hidup kita. Para pengungsi ini menjadi tidak nyata karena kita tidak bisa lagi melihat mereka.


Is there a time to run for cover
A time for kiss and tell
Is there a time for different colours
Different names you find it hard to spell


Dulu saat masih kuliah dan sedang berkutat dengan ide-ide untuk diajukan sebagai topik penelitian skripsi, masih kuingat salah-satu topik yang kuajukan adalah mengenai masalah pengungsi Afghanistan.
Saat itu rejim Taliban masih berkuasa, dan mereka baru saja menghancurleburkan patung-patung raksasa Buddha tanpa menghiraukan imbauan masyarakat internasional untuk membiarkan keberadaan warisan budaya dunia tersebut sebagaimana adanya. Ketika itu, sesiapapun yang berbicara tentang serbuan pasukan gabungan Amerika Serikat dan sekutunya masuk ke Afghanistan pasti akan dipandang sebagai seruan nabi palsu di tengah gersangnya padang gurun.
Alasan personal-ku memilih topik tersebut adalah karena kupikir seharusnya ini akan menjadi topik penelitian yang tidak terlalu sulit, cukup dengan membaca sumber-sumber sekunder: media massa. Memang saat itu aku sedang ingin mencari yang gampangnya saja, yang penting bisa tulis skripsi cepat agar bisa cepat sidang sehingga bisa cepat meraih gelar sarjana, yang artinya sukses memenuhi salah satu amanat orang tua.

Entah mengapa, saat itu aku benar-benar lupa bahwa dulu sekali, ketika aku masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar, keluargaku pernah menerima satu keluarga utuh, dalam artian kedua orang-tua berikut seluruh anaknya, untuk tinggal bersama kami. Keluarga ini sesungguhnya merupakan kerabat jauh. Mereka terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat kerusuhan berbau agama yang merembet ke antarsuku, dan kabarnya saat itu sudah sampai memakan korban jiwa.
Malam sebelum menerima mereka, Bapak dan Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah lantas memberikan wejangan-wejangan singkat yang intinya adalah melarang kami untuk menyebut mereka menumpang hidup di rumah kami, semata demi menjaga perasaan mereka. Meskipun kenyataannya, ya memang demikian keadaannya: mereka menumpang.
Aku tidak melihat bagaimana riuhnya saat mereka tiba, karena kejadiannya waktu aku masih di sekolah. Yang kuingat, sepulangnya dari sekolah dan saat baru turun dari bis sekolah, terlihat ada beberapa barang yang tergeletak di halaman rumah kami yang paginya saat aku berangkat sekolah, semua barang itu masih belum ada di sana. Mulai dari sepeda motor hingga antenna parabola!
Masuk ke dalam rumah, ada banyak orang tak kukenal. Lalu aku diperkenalkan kepada mereka. Entah siapalah, sekarang aku bahkan tidak bisa ingat wajah-wajah mereka, apalagi jika diminta menyebutkan namanya. Ada satu keluarga sedang duduk-duduk di ruang makan keluarga kami, lalu saat aku beranjak ke ruang tengah, ada juga dua orang anak kecil sedang menonton televisi. Katanya sih mereka berdua masih terhitung saudara sepupu jauhku. Membosankan, karena mereka tampak bukan jenis yang bisa asyik diajak main, sebab mereka berkulit gelap akibat terbakar matahari, dan seakan untuk menegaskan ‘kecurigaan’-ku itu, mereka memang berbau matahari.

Tidak butuh seminggu untuk membuatku kesal pada keberadaan mereka di antara kami.
Si Ayah doyan bersendawa di meja makan. Membuatku kesal karena justru Bapak sangat melarang keras kami membuat bebunyian ketika makan malam bersama, ya, bahkan sedapat mungkin harus meminimalisir bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring keramik. Tapi dengan kerabat ini, Bapak diam saja melihat tingkah polahnya. Anak-anak mereka makan sambil berdecap dengan berisik, seolah tidak bisa makan sambil menutup mulut ketika mengunyah, ditambah kegemaran mereka mengaduk-aduk dan bermain dengan makanan di dalam piring di hadapan mereka.
Belum lagi saat menonton televisi, anak-anak ini akan berkeras untuk menonton program kesenangan mereka, sama sekali tidak mau mengalah pada anak tuan rumah. Menyebalkan. Mentang-mentang ”hosting tamu” masa otomatis harus menerima semua dengan lapang dada? Nonsense!
Lantas ada pula anaknya yang tertua, saat itu kira-kira seusia SMA tapi terpaksa tidak bersekolah dulu untuk sementara waktu karena sekolahnya ditutup akibat kerusuhan, mengomentari dengan nada negatif layar televisi kami yang kecil dan tidak memuaskan pandangan matanya, karena dia terbiasa menonton acara televisi di layar lebih lebar seperti yang ada di rumahnya. Semakin menyebalkan saja!
Aku tidak mengerti kenapa kedua orangtua ku bisa bersabar menghadapi tingkah-polah keluarga ini, karena aku tidak. Barangkali pertimbangan kedua orangtuaku saat itu adalah faktor kemanusiaan, karena sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan. Terlebih lagi karena kami masih memiliki hubungan kekerabatan.

Namun bagi seorang anak kecil seperti diriku saat itu, mau ada hubungan saudara atau bukan, kalau sudah dipandang mengganggu dan masuk tahap menyebalkan yang perlu diberi pelajaran, ya ajak berantem aja sekalian! Tak memikirkan masalah kepekaan sama sekali. Biarlah itu menjadi urusan orang-orang dewasa saja.
Seingatku saat itu kurang lebih baru lewat satu minggu sejak mereka menjadi penghuni baru di rumah kami ketika akhirnya aku mulai bertengkar dengan anak-anak mereka yang kecil. Tidak sampai adu pukul berdarah-darah dan lebam-lebam, tapi sangat jelas memperlihatkan bibit konflik yang berpeluang meledak dalam skala lebih besar lagi.

Untung saja saat itu tanpa sepengetahuanku, kondisi keamanan mulai berangsur pulih sehingga tak lama kemudian keluarga ini bisa kembali ke rumah mereka dengan membawa serta tumpukan harta-benda mereka yang sempat memenuhi rumah dan halaman kami. Aku bisa bebas untuk kembali bermain dengan semua mainanku seperti sediakala tanpa diharuskan membaginya dengan para sepupu jauhku itu (such a spoiled egoistical little kid, ha! ha!) maupun mengajak mereka bermain bersama. Habisnya cara mereka bermain ga asyik dan ga imajinatif sih, masa main perang-perangan dengan tentara-tentaraan plastik tanpa disertai cerita asal-muasal latar-belakang penyebab terjadinya konflik bersenjata itu sendiri?
Waktu mereka masih tinggal di rumah kami, satu saat ketika ketidaksukaanku sudah nyaris mencapai titik kulminasi, aku bahkan sempat berharap ada orang Samaria yang baik hati kebetulan lewat di depan rumah kami dan lantas memutuskan bersedia menampung keluarga menyebalkan ini berikut segala kebawelan dan tingkah-laku ajaib setiap anggota keluarganya yang menjengkelkan itu. Biar sajalah aku menjadi orang Farisi yang terus berjalan lewat dan pura-pura tidak melihat. Untuk hal yang satu ini, aku yakin sanggup melakukannya dan jelas-jelas rela menanggung risikonya nanti, ketika dijadikan contoh tingkahlaku tidak baik.


Is there a time for first communion
A time for East Seventeen
Is there a time to turn to Mecca
Is there time to be a beauty queen


But now, everything has changed.
Even though I don’t know what changed me and when it happened exactly, but am pretty sure I’ve changed my position and opinion about this refugee issue. Barangkali terjadinya seiring pertambahan usia dan peningkatan kedewasaan jiwa. Atau karena melihat beberapa contoh orang-orang sukses dan ternama yang berprestasi, yang dalam perjalanan hidupnya sempat menjadi pengungsi.
Yang jelas, sekarang kalau lihat laporan berita tentang penderitaan para pengungsi, jadi sedih.
Meskipun jelas kalau sekedar sedih doang, tidak akan membantu mengurangi penderitaan para pengungsi tersebut. Sama seperti pesan layanan masyarakat yang dibintangi Angelina Jolie berikut ini.





Salah satu pengguna YouTube meninggalkan komentar menyindir, yang memang tepat dialamatkan untuk PSA ini. Kurang lebih katanya, “... just thinking of them won’t change anything.”; buat menanggapi closing statement dari Ms. Jolie. Well, I couldn’t agree more.
Yang dibutuhkan dalam situasi semacam ini adalah tindakan nyata, dan segera.
Namun terkadang, dalam kondisi tertentu, justru kesulitan memberikan bantuan itu dikondisikan sendiri secara sengaja oleh sekelompok manusia berjudul pemerintah. Ingat saja para korban badai Nargis di Myanmar, atau yang baru-baru ini kubaca dari laporan majalah Time, bahwa Presiden Zimbabwe sengaja membiarkan rakyatnya menderita dan mati perlahan namun pasti – sedangkan bagi mereka yang bernasib lebih baik akan eksodus ke negara-negara tetangga seperti Afrika Selatan. Membuatku tidak habis pikir, kok ada ya pemerintah yang setega itu? Tapi bisa jadi hal ini tidak ada kait-mengait dengan masalah perasaan tega. Barangkali justru karena masalah politik semata. Mengerikan memang manusia bisa tega kepada sesamanya justru karena dia punya akal pikiran untuk melakukannya.


Is there a time for tying ribbons
A time for Christmas trees
Is there a time for laying tables
And the night is set to freeze

No comments: