Thursday, November 1, 2007

Cinta, Di Titik Nol

Dapatkah seseorang hidup tanpa Cinta di dalam hatinya?

Entahlah. Rasanya tidak.
Karena hingga sampai hari ketika aku menuliskan ini, belum pernah sekalipun aku berjumpa dengan seseorang yang tidak memiliki Cinta, meskipun mungkin hanya sedikit, di dalam hatinya, dan memberikan kehangatan bagi jiwanya.

Atau pun jika pernah berjumpa, tapi aku tidak melihatnya, tidak menyadarinya. Karena di dalam lubuk hati ini aku selalu percaya, bahwa tanpa ada Cinta sesedikit apapun di dalam hati seseorang, meskipun barangkali hanya sebesar biji sesawi, maka sesungguhnya dia – jiwanya – tidaklah hidup.

Hingga tibalah suatu hari ketika aku menemukan kutipan berikut ini, di dalam salah satu novel karya Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol.
Novel ini bertutur tentang seorang perempuan Mesir bernama Firdaus yang sejak masa kanak-kanaknya telah mengalami begitu banyak kegetiran hidup dan penderitaan. Ia tumbuh dalam kubangan lumpur kemiskinan. Cinta yang bertumbuh di dalam hatinya tidak pernah mendapat balas. Bukannya kebahagiaan, melainkan sakit yang seringkali ia terima. Bukan hanya sekali dia diperkosa. Dan tidak terhitung pula berapa kali tubuh dan jiwanya dianiaya. Menjadi pelacur pun terpaksa dilakoninya, demi untuk dapat bertahan hidup.
Hingga akhirnya liku-liku jalan kehidupan membawa Firdaus bertemu dengan seorang perempuan yang dengan bijak mencoba membantunya menemukan makna kehidupan. Dan juga Cinta, yang selama ini masih terus dicarinya karena belum pernah sekalipun ditemukannya.

Kutipan yang akan segera Anda baca berikut ini – meskipun tidak persis sama seperti teks aslinya – merupakan rangkaian dialog yang berlangsung di antara kedua perempuan tersebut, Wafeya dan Firdaus, yang sama-sama sedang berdiri di titik yang menentukan dalam perjalanan hidup mereka masing-masing. Perempuan yang satu dengan dan yang lainnya tanpa Cinta di dalam hatinya.


Wafeya: “Ada sesuatu di wajahmu yang memberi kesan, bahwa kau sedang jatuh cinta.”
Firdaus: “Tetapi tanda apa pada wajah seseorang yang dapat menimbulkan dugaan, bahwa orang itu jatuh cinta?”
Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Aku tidak tahu. Tetapi aku merasa, bahwa kau khususnya, adalah orang yang tidak dapat hidup tanpa jatuh cinta.”
Firdaus: “Justru aku hidup tanpa cinta.”
Wafeya: “Jadi kau hidup di dalam dusta, atau sama sekali tidak hidup.”


Begitu kubaca jawaban Wafeya itu, sejenak kutertegun. Lantas bertanya pada diri sendiri: Adakah Cinta di dalam hatiku?

Aku yakin tentulah ada, meskipun barangkali hanya sebesar biji sesawi.
Karena hidup yang aku jalani jauh lebih bahagia daripada jalan kehidupan yang ditempuh Firdaus.
Dan kesadaran ini, sesuatu yang seharusnya sudah kuketahui tapi entah bagaimana tersembunyi di dalam benakku, membuatku kembali berpikir dalam-dalam, bahwa pendapat Wafeya sungguh sangat benar adanya.

Karena jika tidak ada Cinta di dalam hatiku, bisa jadi aku hidup di dalam dusta, atau sama sekali tidak hidup.




{ Cinta, Di Titik Nol pertama kali dipublikasikan online pada tanggal 7 Juni 2006 dengan judul Love, at Point Zero di dalam blog Friendster-ku yang kini sudah tidak aktif. Setelah mengalami beberapa penyesuaian kontekstual, tulisan yang aslinya didedikasikan “Untuk Cintaku, my Lovely Masai Lion, yang telah ‘memberi aku alasan untuk hidup’” ini kembali dapat Anda baca di sini }

No comments: