Monday, March 31, 2008

It’s The Heart That Matters Most



"Oh, take a look around you can see that it's true
It's like a river flowing inside of you

Everyone needs love, you need it too

So here's what you have got to do"



Rasanya sudah menjadi pengetahuan khalayak ramai bahwa akhir pekan di Bandung belakangan ini sudah tidak lagi menyenangkan, dalam artian lalu-lintasnya – khususnya di jalan-jalan protokol seperti di Dago dan sekitarnya – cenderung mengalami kemacetan total. Perpindahan dari satu titik ke titik lainnya yang biasanya dalam kondisi lalu-lintas hari biasa hanya memakan waktu maksimal 10 menit, di akhir pekan bisa berubah menjadi 1 jam. Terkadang bahkan lebih! Gila!

Apalagi sejak menjamurnya factory outlet di kota ini, semakin banyak wisatawan asal Jakarta maupun dari daerah lainnya, yang datang hanya untuk menghabiskan uang dengan shopping, shopping and more shopping.

Meskipun selalu bikin orang-orang yang lewat jadi sakit hati dan sakit kaki (khusus dialami oleh mereka yang menyetir), agak sedikit susah juga jika harus menuding para wisatawan pembelanja ini sebagai biang segala macam kerepotan yang ditimbulkan oleh kemacetan. Serba salah, karena bahkan dengan berhitung kasar dan rada asal-asalan pun, diperkirakan setiap akhir pekan terjadi transaksi senilai minimal ratusan rupiah hingga miliaran rupiah, itu hanya dari belanja fashion. Belum termasuk jajan makanan dan oleh-oleh serta tol.

Menurutmu hal ini bagus buat perekonomian Bandung? Tidak juga. Biaya ekonominya tinggi! Hitung saja pemborosan waktu dan bahan bakarnya. Belum lagi ‘sakit jiwa’ yang ditimbulkan akibat stress menghadapi kemacetan.

Oleh karena itu, apapun jenis hiburan yang bisa ditemukan sepanjang jalan saat tengah bete terkena macet, pastilah akan sangat menyenangkan dan membantu mengatasi kepenatan yang mendera.

Sebagaimana hari Sabtu terakhir di bulan Agustus lalu. Aku bersama dengan tiga orang teman lainnya sedang ‘rusuh’ karena terjebak kemacetan seusai menghadiri penyelenggaraan wisuda di universitas negeri dengan jumlah mahasiswa terbanyak di Jawa Barat. Saat itu, jalan-jalan benar-benar padat, sehingga jarak yang hanya kurang lebih 100 meter terpaksa ditempuh dalam waktu nyaris satu jam!

Macet akibat acara wisuda di kampus ini yang masih terletak di seputaran area Dago, ditambah macet akibat tumpukan kendaraan para wisatawan yang ingin berbelanja, menimbulkan neraka lalu-lintas kemacetan pangkat dua. Menyebalkan!

Untuk mengantisipasi rasa kesal yang mulai menumpuk dan sembari menantikan kemacetan ini mulai terurai, kami berempat ribut bercanda. Mulai dari gossip-gosip tidak penting sampai main tebak-tebakan yang juga sama tidak pentingnya.

Saat itulah aku melihat satu momen yang – setidaknya buatku pribadi – indah dan mengesankan.

Di antara deretan mobil berbagai jenis dan merk serta tahun produksi yang saling merapat nyaris bumper to bumper, di antara sekian banyak orang yang lebih memilih untuk turun dari angkutan kota dan berjalan kaki meski berisiko terpapar kepulan asap knalpot melewati barisan mobil yang entah sampai kapan baru akan bisa melepaskan diri dari neraka kemacetan ini, kami berpapasan dengan dua orang ibu yang sedang menaiki sebuah vespa.

Rasanya tidak akan ada yang istimewa pada dua sosok ibu tersebut, jika kita tidak memperhatikan pakaian yang mereka kenakan. Si ibu yang mengemudikan vespa memakai busana muslimah, jilbab yang tampak serasi dengan bajunya. Duduk membonceng di belakangnya, adalah seorang biarawati tua yang mengenakan kalung salib yang terlihat jelas menggantung di dadanya. Mereka berdua tampak mengobrol akrab sambil tersenyum-senyum, barangkali sedang membicarakan sesuatu hal yang lucu sekali bagi mereka.


"Spread a little hope, make the spirits rise
Do you see the wonder in their eyes

Time to speak of love, hold each other close

Cause it's the heart that matters most"



“Hey! Coba deh liatin kedua ibu itu!” kataku pada ketiga orang temanku yang saat itu tengah seru-serunya tertawa. Tawa mereka segera berhenti saat melihat kedua orang ibu tersebut, dan mereka bertiga terdiam sejenak.

Lalu kudengar Fitra menggumam pelan, “Wah, indah banget ya ...”

Saat itulah sempat kuperhatikan ketiga orang temanku sedang tersenyum ke arah kedua orang ibu tersebut, meskipun aku yakin mereka berdua tidak akan dapat melihat senyuman kami yang terhalang oleh lapisan film kaca mobil.

Karena masih belum bisa melewati deretan mobil yang seakan-akan tidak bergerak sama sekali, tampak si ibu biarawati kemudian turun dari jok belakang dan berjalan agak lambat ke depan untuk melihat situasi arus lalu lintas. Tangannya memberikan tanda kepada setiap pengemudi mobil yang ia lewati, seakan-akan meminta izin agar ia dan temannya diberikan kesempatan untuk lewat. Sedangkan si ibu berjilbab mencoba mendorong maju vespanya menyelip di celah antara mobil-mobil, berusaha mengikuti gerak langkah si ibu biarawati.

Sayang sekali, kami tidak sempat mengikuti dengan pandangan mata apakah mereka berdua berhasil melewati kemacetan tersebut, karena tiba-tiba saja mobil yang berada di depan kami mulai bergerak maju. Langsung saja Aryo ikut menjalankan kembali mobilnya mengikuti pergerakan lalu-lintas.

Saat itu kusadari bahwa kami berempat masih terdiam sejenak. Barangkali kami semua masih memikirkan kedua orang ibu tadi. Lalu kudengar Helen berkomentar pelan, “Coba ya kalau kita semua bisa begitu ...”

Aku tersenyum.
Bukankah kami sudah mencobanya?

Kami berempat berteman dekat. Tanpa memandang latar-belakang yang berbeda. Salah satu dari kami asli keturunan Jawa dengan silsilah keturunan ningrat. Satu lagi keturunan Palembang-Arab, meskipun dibesarkan di luar Indonesia. Yang lain keturunan Jawa-Sunda, sejak lahir hingga lulus sekolah menengah tinggal di Jakarta, jadilah salah satu impiannya adalah berjalan telanjang kaki di pematang sawah. Dan satu lagi adalah keturunan raja-raja Tapanuli bercampur sedikit darah Eropah, namun dilahirkan di ranah Melayu. Salah satu dari kami telah menunaikan rukun Islam kelima dengan naik haji ke Makkah. Dan yang lain memeluk agama Kristen.

Sebagai sekumpulan teman dekat, kami tentu pernah merasakan pahit-manisnya persahabatan. Namun kami tidak pernah menjadikan perbedaan di antara kami sebagai sumber perselisihan. Bisa jadi kami sesungguhnya memiliki persamaan pandangan dengan kedua orang ibu tadi.

Andai saja kita semua bisa mengikuti keteladanan persahabatan kedua orang ibu di atas vespa itu tadi, dengan menerima segara perbedaan yang ada di antara setiap individu, dan tidak menjadikannya sebagai satu masalah yang terkadang cenderung dibesar-besarkan, bukankah hidup ini akan jadi lebih baik?


"In time we come to learn
It's the heart that matters most"




- Ide penulisan It’s The Heart That Matters Most didapat ketika sedang terjebak kemacetan seusai upacara wisuda Universitas Padjadjaran, 30 Agustus 2003. Judul tulisan dan kutipan pendukung di dalamnya berasal dari lirik lagu Charlotte Church dengan judul yang sama -

1 comment:

Ira Lathief said...

indeed..the story of two lady was beautiful!